Carding adalah penipuan kartu kredit bila pelaku mengetahui nomor kartu kredit seseorang yang masih berlaku, maka pelaku dapat membeli barang secara on-line yang tagihannya dialamatkan pada pemilik asli kartu kredit tersebut, sedangkan pelakunya dinamakan carder.[1]
Penyalahgunaan kartu kredit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu[2] :
- kartu kredit sah tetapi tidak digunakan sesuai peraturan yang ditentukan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pemegang kartu kredit dengan bank sebagai pengelola kartu kredit.
- Kartu kredit tidak sah/palsu yang digunakan secara tidak sah pula.
Menurut Doctor Crash yang memuat tulisan di buletin para hacker, pengertian carding adalah :
“A way of obtaining the necessary goods whitout paying for them.”[3]
(“Cara mendapatkan kebutuhan yang diperlukan tanpa perlu membayarnya”).
Terminologi carding dalam bahasa formal atau bahasa hukum, digolongkan sebagai credit/debit card fraud (penipuan menggunakan kartu kredit/kartu debit), yang menurut IFCC[4] adalah :
“The unauthorized use of a credit/debit card number can be stolen from unsecured web sites, or can be obtained in an identity theft scheme.” [5]
(“Penyalahgunaan kartu kredit/debet untuk menipu dalam mendapatkan uang atau property. Nomor kartu kredit dapat dicuri dari web site yang tidak terjaga/tidak aman atau didapatkan melalui pencurian identitas”).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tidak memuat aturan secara khusus mengenai tindak pidana yang berhubungan dengan komputer. Setidaknya ada dua pendapat yang berkembang sejalan dalam menangani kasus kejahatan yang berhubungan dengan komputer yang secara tidak langsung juga berkaitan dengan masalah cyber crime yakni :[6]
- KUHP mampu untuk menangani kejahatan di bidang komputer (computer crime)
Madjono Reksodiputro, pakar kriminolog dari Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa kejahatan komputer sebenarnya bukanlah kejahatan baru dan masih terjangkau oleh KUHP untuk menanganinya. Pengaturan untuk menangani kejahatan komputer sebaiknya diintegrasikan ke dalam KUHP dan bukan ke dalam undang-undang tersendiri - Kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computer crime) memerlukan ketentuan khusus dalam KUHP atau undang-undang tersendiri yang mengatur tindak pidana dibidang komputer.
- Sahetapy, tentang bahwa hukum pidana yang ada tidak siap menghadapi kejahatan komputer, karena tidak segampang itu menganggap kejahatan komputer berupa pencurian data sebagai suatu pencurian. Kalau dikatakan pencurian harus ada barang yang hilang. Sulitnya pembuktian dan kerugian besar yang mungkin terjadi melatarbelakangi pendapatnya yang mengatakan perlunya produk hukum baru untuk menangani kejahatan komputer agar dakwaan terhadap pelaku kejahatan tidak meleset.
- J. Sudama Sastroandjojo, menghendaki perlu adanya ketentuan baru yang mengatur permasalahan tindak pidana komputer. Tindak pidana yang menyangkut komputer haruslah ditangani secara khusus, karena cara-caranya, lingkungan, waktu dan letak dalam melakukan kejahatan komputer adalah berbeda dengan tindak pidana lain.
1. Delik Pencurian
Delik pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP, dengan variasinya diatur dalam Pasal 363 KUHP yakni tentang Pencurian dengan Pemberatan, 364 KUHP tentang Pencurian Ringan, 365 KUHP tentang Pencurian yang disertai dengan Kekerasan, 367 KUHP tentang pencurian dilingkungan keluarga.
Penjeratan pelaku Penyalahgunaan Kartu Kredit dengan Pasal KUHP dimungkinkan, hanya saja perlu digunakan penafsiran yang ekstensif oleh aparat penegak hukum karena KUHP yang sekarang berlaku pembentukannya ditujukan untuk mengatur perbuatan yang nyata. Pasal 362 KUHP menyatakan[7] :
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah
Unsur Pasal 362 KUHP telah terpenuhi karena ‘mengambil’ tidak diartikan secara sempit seperti memegang tetapi dengan mengambil dan mengalihkan data mengenai nomor-nomor kartu kredit dan mempergunakannya sudah termasuk dalam pengertian ‘mengambil’. Sebagai contoh adalah pencurian arus listrik ditafsirkan sebagai perbuatan ‘mengambil’.
2. Delik Penipuan
Pasal 378 KUHP menyatakan [8]:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun
Unsur Pasal 378 KUHP juga telah terpenuhi, terutama pengertian ‘tipu muslihat’ yang tidak hanya diartikan sebagai perbuatan dengan kata-kata bohong saja, tetapi juga dengan melakukan perbuatan yang tidak benar, seperti dengan mengirim e-mail kepada pemilik barang seolah-olah nomor kartu kredit dan kartu kredit itu sendiri adalah valid dan benar.
2. Delik Pemalsuan Surat
Untuk pemalsuan surat, KUHP kita telah mengaturnya dengan tegas dan jelas, yaitu pada Pasal 263, yaitu[9] :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang siperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan dimaksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu menimbulkan kerugian
Unsur dalam Pasal 264 KUHP juga telah terpenuhi, karena yang diancam dengan pasal ini adalah orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat.
Dalam hal Pemalsuan Surat, identitas palsu digunakan oleh pelaku untuk memesan dan mengambil barang yang telah ia pesan. Identitas tersebut membuktikan bahwa seolah-olah yang bersangkutan adalah pemilik identitas yang sebenarnya, oleh karena itu tidak perlu ada pihak yang dirugikan, cukup dengan membuktikan unsur-unsur dari perbuatan tersebut dapat dibuktikan, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
Yang termasuk surat disini adalah :
- Surat Keterangan Kependudukan dari Camat tentang Data Kependudukan
- Surat Keterangan Data Penyerahan Kiriman Luar Negeri yang diragukan kebenarannya
[1] Ade Ary Sam Indradi, Carding : Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Jakarta:PTIK, 2006, hlm .36.
[2] Johanes Ibrahim, Kartu Kredit : Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Bandung: PT Refika Aditama, 2004, hlm. 84
[3] Doctor Crash, The Techno-Revolution, Volume One, Issue Six, Phile 3 of 13, (www.phrack.organisasi/ phrack/6/P06-03)
[4] IFCC (Internet Fraud Compalint Center), yaitu salah satu unit di FBI yang menangani komplain dari masyarakat berkaitan dengan cyber crime.
[5] IFCC, cyber sweep, Presentasi mengenai Operasi Cyber Sweep (Operasi Gabungan beberapa Departemen di America Serikat yang berkaitan dengan cyber crime), 2003, http://www.ifccfbi.gov/strategy/CyberSweep-Summary.pdv)
[6] Yana, Menjerat Pelaku Cyber Crime Dengan KUHP, 25 Agustus 2007, diakses di situs http://www.sman10bogor.com, tanggal 5 Oktober 2007
[7] Andi Hamzah, KUHP, Jakarta, RINEKA CIPTA, 2002
[8] Ibid,halaman 146
[9] Ibid halaman 105
(source : http://rumahteduh.wordpress.com/2013/10/15/carding-kejahatan-gaya-baru/ )
(source : http://rumahteduh.wordpress.com/2013/10/15/carding-kejahatan-gaya-baru/ )
0 komentar:
Posting Komentar